05/06/2025

Bengkayang Post

Cerdas Ungkap Realitas

SEPINTAS TENTANG PANTANG “BALALA’ “ DAYAK KANAYATN

Share

     Foto : Hendrikus Clement

Masyarakat Dayak Kanayatn meyakini bahwa dunia ini diciptakan Jubata (Tuhan) yang disebut Ene’ Daniang (Tuhan Yang Mahakuasa). Dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Jubata itu mereka membangun tempat ibadah (ritual) yang diberi nama panyugu. Panyugu adalah tempat ritual suci yang biasanya ditandai dengan pantak (patung kayu) dan lokasi meletakkan barang sesajian ritual adat. Inilah praktek religi nenek moyang yang masih ada sampai kini. Memang warga Dayak penganut agama baru tidak melakukan praktek itu lagi tetapi masih menghormatinya sebagai warisan ritual-religi nenek moyang. Doa ritual yang mengungkapkan keyakinan masyarakat Dayak kepada Tuhan (Jubata) diungkapkan seperti contoh doa berikut ini:

“ Kami bapinta ka’ kita’ Jubata supaya pama Ne’ Nabi kita’ lamputn majaji bacuncupm, idup baringu ka’ dalapm pantak, kita’ nang samula idup, samula jaji, pamane batitah, supaya ampahe ja kita’ (Kami memohon kepada-Mu Tuhan supaya Roh Ne’ Nabi Engkau sempurnakan menjadi menjadi berkecukupan, hidup melindungi ke dalam pantak, Engkau yang awal mula hidup, awal mula jadi, yang bijak bertitah, supaya demikianlah Engkau berkata):

“ sengat bapinta ka’ nyaru (nafas dimohonkan kepada angin), kata bapinta ka’ late’ (suara dimohonkan kepada halilintar), gageh bapinta’ ka’ ai’ (tenaga dimohonkan kepada air)” (Andasputra dan Julipin, ed.,1997: 36).

Potongan doa (sangahatn) diatas menunjukkan bagaimana keyakinan Nenek moyang Dayak Kanayatn terhadap Tuhan sebagai awal mula dan sumber hidup (jiwa/nafas) bagi manusia Dayak.

     Masyarakat Dayak secara turun-temurun hidup dari pertanian (sawah dan ladang) dengan membuka hutan. Oleh karena itu kehidupan mereka diwarnai dengan kebudayaan agraris, dengan tanaman utama padi. Mereka melakukan pertanian setiap tahun dengan kalender tetap, tahap-tahap pertanian yang kental dengan ritual adat pertanian. Tanah, hutan dan air sangat mereka cintai sebab itulah hidup dan kehidupan mereka.

Mereka melakukan upacara atau ritual adat dalam pertanian sebagai berikut: 1. Upacara nabo’ panyugu nagari (berdoa di Panyugu Nagari). Ini dilaksanakan sesudah panen dan berpantang makan daging, pakis, rebung, cendawan, keladi selama tiga hari. 2. Upacara nabo’ panyugu tahutn/naik dango/tahun baru. Ini dilaksanakan segera setelah upacara nabo’ panyugu nagari. 3. Setelah itu berturut-turut dilakukan upacara: Ngawah, Ngalabuhatn, Ngamalo lubakng tugal, Ngaladakng bunting padi, Ngabati’, sampai Ngaleko (mengetam padi).

     Diatas disebutkan adanya pantak (patung kayu). Pantak itu diartikan sebagai media antara manusia (talino) dengan arwah leluhur (pama), sebagai pengayom atas kehendak Tuhan (Jubata). Hubungan spiritual arwah dengan manusia berlangsung terus-menerus, tidak terikat ruang dan waktu. Namun secara formal tradisi hubungan masyarakat dengan leluhurnya itu dilaksanakan dalam bentuk ritual keagamaan (ritual adat) setiap tahun. Pantak di panyugu adalah patung kayu

tokoh pertanian (yang kaya-raya berkelimpahan dengan padi). Pantak di padagi adalah patung kayu tokoh perang dan tabib.

Upacara nabo’ padagi dilaksanakan setelah siklus dunia pertanian tahunan dengan rangkaian kegiatannya, sekitar bulan Mei. Padagi adalah tempat suci/keramat yang terdapat pantak perwujudan sosok tokoh perang dan pengobatan/tabib. Dalam upacara ini masyarakat melalui perantara imam panyangahatn dan tabib memohon sampore’ (obat) yang dapat menawarkan/menghapus segala kesalahan yang telah dilakukan selama kurun waktu yang lalu. Permohonan ini  dimohonkan secara khusus kepada Pama leluhur, atas restu Jubata Ne’ Patampa (Tuhan Sang Pencipta). Untuk memasuki proses pembersihan diri masyarakat melaksanakan laku sesuai dengan petunjuk yang diperoleh selama upacara nabo’ padagi. Setelah upacara ini, masyarakat selama tiga hari atau tujuh hari/malam, tidak boleh melakukan kegiatan rutin dan makan jenis makanan secara terbatas. Masa ini disebut hari  balala’ (pantang). 

     Jadi, tujuan upacara ini adalah minta perobatan (sampore) untuk menyembuhkan dan menghilangkan semua kesalahan laku (tindakan) selama setahun lalu. Kemudian dilanjutkan dengan pantang (balala’) sebagai tanda perobatan atau penyembuhan diri, baik secara fisik maupun spiritual. Adapun laku/perbuatan yang dilakukan selama berpantang tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tidak boleh bekerja secara fisik (Ame karaja, badiapm ja ka’ rumah). b. Tidak boleh memetik tangkai (ranting dan daun), dinamakan ngalayu. c. Tidak boleh makan sayur segar (dalam arti yang baru dipetik). d. Tidak boleh makan daging berdarah panas.

Inilah makna dan praktek asli  berpantang (balala’) dalam masyarakat Dayak Kanayatn.

     Disamping yang dilaksanakan secara rutin tiap tahun, nabo padagi juga dilakukan pada saat dunia huruhara. Dalam hal ini, upacara ritual dilaksanakan untuk meminta kekuatan (bala) kepada leluhur, supaya selama peperangan terhindar dari serangan musuh. Atau selama perang berlangsung warga masyarakat diberi kekuatan yang sulit dibentuk oleh kekuatan apapun.

     Dalam praktek kekinian, ketika wabah penyakit menyerang dan berbagai persoalan hidup melanda masyarakat secara menyeluruh, masyarakat Dayak pun akhirnya tidak lupa melakukan ritual pantang sebagai ungkapan permohonan bantuan Yang Mahakuasa untuk menghadapi bahaya penyakit. Penyakit itu bisa membinasakan manusia, hewan dan tanaman padi (pertanian) masyarakat Dayak. Bagi mereka yang masih mempertahankan ritual ini, sebenarnya ini merupakan tradisi yang sudah ada sejak dahulu kala. Hanya saja kaum agamawan picik dan penguasa intoleran sering memandangnya sebagai praktek “berhala” yang ketinggalan zaman dan anti “modernitas”. Ketika semua ilmuwan kesehatan dan pemerintah melakukan kebijakan “lock down” dan “stay home” waktu menghadapi “pandemi Covid-19” ini, barulah mereka sadar bahwa ternyata kearifan lokal masyarakat Dayak adalah tradisi, cara dan sarana ampuh untuk melindungi masyarakat dari ganasnya pandemi ini. Ungkapan dan wujud berpantang (balala’) dalam masyarakat Dayak Kanayatn sebenarnya solusi dan obat  fisik-spiritual menghadapi sakit-penyakit yang mengancam hidup manusia: dengan bantuan Pama (leluhur) untuk sampai kepada Tuhan (Jubata) Sang Pemberi Hidup.  

Catatan:

ditulis oleh: Hendrikus Clement, Ketua Yayasan Sumangat Nusantara, pemerhati Budaya Dayak, pengamat seni-budaya daerah, tinggal di Bengkayang; adalah putera asli Dayak Kanayatn. Ditulis pada hari Senin, tanggal 28 April 2020.


Share